YAPEKOPA

MK Memutuskan Frasa "Batal Demi Hukum" Dalam KUHAP Melanggar Konstitusi

frasa_batal_demi_hukum_melanggar_konstitusi
Ilustrasi sidang di Mahkamah Konstitusi

Jakarta | Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan penafsiran baru terhadap frasa “batal demi hukum” Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum apabila frasa  frasa “batal demi hukum” Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim. Demikian Putusan Nomor 28/PUU-XX/2022 dibacakan pada Senin (31/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.

Suhartoyo melanjutkan frasa ‘batal demi hukum’ yang terdapat pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP akan dapat menciptakan kepastian hukum apabila dimaknai pengajuan perrbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali setelah dinyatakan batal atau batal demi hukum. Artinya, apabila dakwaan kedua diajukan JPU masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materi surat dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir.

“Dengan diberikan pemaknaan baru oleh Mahkamah atas norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara yang saat ini sudah dinyatakan surat dakwaan JPU batal atau batal demi hukum, baik sekali atau lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk satu kali lagi dan kemudian hakim memeriksanya bersamaan dengan materi pokok perkara. Sementara itu, terhadap perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh JPU dalam persidangan, berklaku ketentuan sebagaimana yang telah diputuskan ini,” ujar Suhartoyo.

Hilang Hak Konstitusional

Lebih lanjut Suhartoyo menyampaikan tanpa ada kejelasan status dan batas waktu suatu perkara selesai, maka berakibat pada kehilangan hak konstitusional dari para pihak. Secara normatif, penyebab hal tersebut bukan semata-mata dampak dari penerapan hukum karena pada praktik hukum yang dapat mengajukan surat dakwaan berkali-kali atas suatu perkara yang sama dengan surat dakwaan yang sudah diperbaiki, setelah sebelumnya dinyatakan batal atau batal demi hukum. Akan tetapi dapat terjadi akibat KUHAP yang tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus berdasarkan putusan sela. Dengan demikian, sambung Suhartoyo, telah terdapat celah dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan yang berdampak pada ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, baik bagi terdakwa dan/atau korban tindak pidana. Secara universal hal demikian tidak sejalan dengan asas litis finiri oportet yang menegaskan setiap perkara harus ada akhirnya.

“Dengan demikian cukup beralasan bagi Mahkamah menegaskan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan, sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa atau penasihat hukum,” sebut Suhartoyo.

Hanya Hak Atas Keberatan Surat Dakwaan

Selanjutnya sehubungan dengan ketentuan Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, Suhartoyo menyebutkan bahwa tidak termuat keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan sela pada setiap keberatan dari terdakwa atau penasihat hukum yang berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Sebab, ketentuan norma ini tidak bersifat opsional dan demi terciptanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban pelaku tindak pidana serta kepentingan umum, maka eksistensi pasal tersebut menjadi alasan mendasar bagi pelaksanaan pembatasan atas surat dakwaan yang dapat diperbaiki dan diajukannya kembali oleh terdakwa di persidangan secara berulang-ulang. Sedangkan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa, maka pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan karena  dakwaan tidak dapat diterima atau harus dibatalkan.

Kesempatan mengajukan keberatan atas surat dakwaan JPU hanyalah hak dan bukan kewajiban, maka adanya pembatasan atas perbaikan surat dakwaan yang disebabkan ‘batal demi hukum’ tidak akan mengurangi hak terdakwa, sebab hakim dapat leluasa memeriksa satu perkara pidana secara bersama-sama dengan syarat formil lainnya yang dapat pula dijatuhkan putusan akhir secara bersamaan. Hal ini senada pula dengan  asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah. Di samping itu, sambung Suhartoyo, pembatasan perbaikan surat dakwaan juga dapat menghindari perkara yang berpotensi melewati batas daluwarsa penuntuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 78 dan Pasal 79 KUHP.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa ‘batal demi hukum’ dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum yang telah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dapat diperbaiki dan diajukan kembali dalam persidangan sebanyak satu kali, dan apabila masih diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum, hakim langsung memeriksa, mempertimbangkan, dan memutusnya Bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam putusan akhir,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Putusan yang diajukan oleh Direktur PT Karya Jaya Satria Umar Husni tersebut.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat 3 (KUHAP) berbunyi, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.(*)

Artikel ini sebelumnya telah terbit di situs mkri.id dengan judul MK: Surat Dakwaan yang Dinyatakan Batal Demi Hukum Dapat Diajukan Kembali Sebanyak Satu Kali

WhatsApp +6282122323345
Email admin@yapekopa.org

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak