Tambang Terbuka Grasberg milik Freeport McMoRan Inc. di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua |
Jayapura - Anggota Komisi I DPRP Laurenzus Kadepa meminta Menteri Investasi/Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Bahlil Lahadalia untuk menyelesaikan nasib 8.300 Karyawan Mogok Kerja (Moker) PT Freeport Indonesia yang belum mendapat titik temu hingga saat ini.
“Pak Menteri Bahlil, kami minta konsen juga masalah penyelesaian 8.300 karyawan yang di-PHK sepihak freeport pada tahun 2017,” Tegas Kadepa di ruang kerjanya, Rabu, (5/10/2022).
Dikatakan Kadepa sebagai salah satu Menteri asal Papua yang dipercayakan oleh Presiden Joko Widodo masuk Kabinet Indonesia Maju hendaknya memberikan perhatian serius terhadap persoalan Papua, salah satunya persoalan PHK sepihak PT.FI terhadap 8300 karyawan,
Sebagai lulusan universitas di Papua dan kini dipercayakan oleh Jokowi sebagai menteri, kata Kadepa, Bahlil seharusnya tidak fokus hanya pada soal bisnis dan investasi yang membawa keuntungan bagi pemerintah dan mengabaikan persoalan tenaga kerja.
"Mestinya, dengan posisi strategis itu, jangan hanya mencari pasar investasi, keuntungan bagi pemerintah semata," tegas Kadepa.
"Tapi harusnya mencari solusi atas persoalan tenaga kerja, terutama ribuan karyawan Freeport, kontraktor, privatisasi dan yang di PHK manajemen secara sepihak,” lanjut Kadepa.
Ditambahkan Politis Nasdem Papua bahwa Pemerintah pusat dan PT Freeport Indonesia jangan hanya mengambil enaknya saja atau mengambil keuntungan saja, tanpa memikirkan korban dampak dari kebijakan pemerintah dan perusahaan yang tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Lebih jauh Politis NasDem Papua itu menekankan agar Pemerintah Pusat dan PT Freeport Indonesia jangan hanya mengambil untung saja dari Papua, tetapi tidak memikirkan korban yang berdampak dari kebijakan pemerintah dan freeport yang tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
“Nasib 8.300 karyawan Freeport itu, hingga kini belum jelas. Mestinya ada solusi dari Kementerian Investasi dan BKPM,” pungkas anggota DPR Papua itu.
Untuk diketahui, mogok kerja karyawan dilingkungan PT Freeport Indonesia yang berlangsung sejak pertengahan tahun 2017 itu, disebabkan karena kebijakan Freeport McMoRan yang tidak manusiawi dengan memberlakukan satu kebijakan yang tidak pernah dikenal dalam sistem hukum maupun peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dan karena kebijakan tidak manusiawi itu, para karyawan melalui organisasi serikat pekerja kemudian melakukan protes kepada pemerintah dan freeport. Baik pemerintah maupun freeport tidak menanggapi protes dari para karyawan ini.
Serikat pekerja selanjutnya menyurati freeport dengan perihal permintaan perundingan agar kebijakan dengan istilah "furlough" itu bisa diakomodir dalam perjanjian kerja bersama (PKB) PT Freeport Indonesia. Karena dalam PKB tidak mengenal istilah (furlough) asing itu dan tidak pernah ada kesepakatan sebelumnya bagaimana mekanisme furlough diterapkan kepada pekerja.
Menurut Penanggung Jawab Buruh Moker Freeport Aser Gobai, pihak perusahaan menolak ajakan berunding tanpa alasan yang tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab.
"Pihak perusahaan tanpa alasan yang mendasar menolak ajakan berunding dari serikat pekerja sebanyak tiga (3) kali. Alasan mereka (freeport), perusahaan tidak sedang melakukan PHK, bahkan sebelum freeport menjalankan kebijakan yang tidak manusiawi itu, freeport menjelaskan bahwa furlough yang mereka terapkan kepada pekerja bukan sebagai bentuk sanksi," kata Aser.
Baca juga: Kadisnaker Papua Terbukti Terima Gratifikasi dari PT Freeport Indonesia dan Menunggu Sanksi
"Namun nyatanya, freeport melakukan PHK Sepihak kepada para pekerja yang dikenai program furlough. Lebih kejamnya lagi, Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan gugatan PHK sepihak yang didaftarkan oleh freeport, padahal para pekerja yang dikenai program kejam dan tidak manusiawi itu tidak pernah melakukan pelanggaran yang menyebabkan mereka dikenai kebijakan furlough," lanjutnya.
Sementara pekerja yang melakukan mogok kerja karena gagalnya perundingan terkait furlough, dianggap mengundurkan diri oleh freeport.
Klaim freeport, kata Aser, pekerja mengundurkan "padahal klaim freeport tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada, yakni adanya surat pemberitahuan surat mogok kerja dan adanya konsentrasi massa pekerja di satu titik yang dapat menjadi alasan untuk membatalkan ketidakhadiran tanpa keterangan selama lima hari berturut-turut yang menjadi alasan freeport klaim para pekerja mengundurkan diri," tegas Aser.
Meski demikian, lebih lanjut dijelaskan oleh Aser, "apabila freeport klaim bahwa pekerja yang melakukan mogok kerja adalah mangkir, freeport hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah." Jelasnya kepada kami saat dihubungi.
"Dalam PKB Freeport sudah dijelaskan, setiap permasalahan hubungan industrial yang tidak bisa diselesaikan melalui perundingan bipartit, freeport diminta untuk mendaftarkan sengketa itu ke Dinas Tenaga Kerja setempat," lanjutnya menjelaskan.
Lebih jauh dikatakan Aser, "apabila rekomendasi atau anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja tidak diterima atau diterima oleh freeport, freeport diwajibkan untuk mendaftarkan sengketa itu ke pengadilan. Hal ini yang tidak dilakukan oleh freeport sehingga timbul pelanggaran hak normatif kerja yang telah bertransformasi menjadi pelanggaran hak asasi manusia," tegasnya.
Sekedar diketahui, berbagai upaya sudah dilakukan para pekerja mogok agar hak-hak mereka dipenuhi dan mereka dapat kembali bekerja. Tetapi freeport dengan kekuasaannya yang mampu melakukan suap selalu menolak penuhi hak pekerja yang melakukan mogok dan mempekerjakan mereka kembali. Meskipun sudah ada penjelasan dari Dinas Tenaga Kerja, sudah ada penegasan dari Gubernur Papua, rekomendasi Komnas HAM, dan rekomendasi Dirjen HAM Kemenkumham yang semua menekankan bahwa perusahaan wajib melaksanakan kewajibannya selama belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan para pekerja Moker sudah di PHK.
Para pekerja Moker ini kemudian selalu didesak oleh freeport dan pemerintah untuk mendaftarkan sengketa hubungan industrial (HI) ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Tetapi pekerja tidak menolak mendaftarkan sengketa HI ke PHI, karena kewajiban untuk mendaftarkan permasalahan itu adanya di pihak perusahaan yakni freeport.
Selain itu, hukum di Indonesia, terkhusus terkait perburuhan, tidak mengakomodir pekerja mendaftarkan sengketa HI ke PHI karena pekerja hanya diberikan waktu satu tahun sejak dianggap mengundurkan diri atau PHK. Sehingga membawa permasalahan ketenagakerjaan ke PHI sama saja membawa diri masuk ke dalam neraka. Stv
WhatsApp +6282122323345
Email admin@yapekopa.org
Email admin@yapekopa.org