YAPEKOPA

Mabes Polri: Bukan Gas Air Mata Penyebab Korban Kanjuruhan Luka-luka dan Meninggal Dunia

Suporter Arema yang tewas di Stadion Kanjuruhan (foto: doc istimewa) 

Jakarta - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, berdasarkan pernyataan para ahli, tidak ada satu pun korban meninggal dunia ataupun luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, disebabkan gas air mata.

Pernyataan itu disampaikan Dedi mengutip pernyataan sejumlah ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban. Mereka terdiri dari para dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan spesialis penyakit mata.

"Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata," kata Dedi di Mabes Polri, Senin (10/10).

Dedi mengungkapkan, berdasarkan pendalaman para ahli, para korban tewas dalam insiden Kanjuruhan akibat kekurangan oksigen. Para korban kekurangan oksigen karena berdesakan di pintu keluar stadion.

Menurut Dedi, dari sedikitnya 131 korban meninggal dunia, paling banyak akibat berdesakan di pintu 3, 11, 13, dan 14.

"Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak," katanya.

Ia menjelaskan, gas air mata pada prinsipnya hanya menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan sistem pernapasan. Menurut Dedi, gas akan menyebabkan mata perih seperti terkena sabun.

Namun, dampak tersebut akan hilang dengan sendirinya, serta tidak menimbulkan efek fatal.
Begitu pula pada sistem pernapasan, gas air mata tidak menimbulkan dampak yang fatal. Menurut sejumlah ahli, kata Dedi, tak ada gas air mata yang menyebabkan pada kematian.

"Di dalam gas air mata tidak ada toksin atau racun yang mengakibatkan matinya seseorang," ucapnya.

Sementara itu, Dedi juga mengakui sejumlah gas air mata yang digunakan aparat saat mengendalikan massa di Stadion Kanjuruhan telah kedaluwarsa atau melewati batas masa guna.

Namun, katanya, gas air mata yang telah kedaluwarsa justru mengalami penurunan dari segi fungsi. Karena itu, fungsi gas air mata yang telah kedaluwarsa justru bisa tak lagi efektif.

Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 malam usai laga Arema FC dengan Persebaya.

Mulanya, suporter Arema tampak turun ke area lapangan untuk mencari pemain dan ofisial.
Hal itu direspon polisi dengan menembakkan gas air mata ke lapangan dan tribun stadion. Akibatnya, penonton berlarian karena panik.


Mereka berlarian ke pintu keluar dalam kondisi sesak napas dan terinjak-injak hingga ada yang meninggal dunia. Sampai saat ini tercatat ada 131 orang tewas, dua di antaranya merupakan personel polisi.

Adapun polisi hingga kini telah menetapkan enam tersangka terkait insiden di Kanjuruhan. Mereka adalah Direktur Utama PT LIB Ahkmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno.

Sedangkan tiga tersangka lain adalah personel Polri. Masing-masing Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman.

Berdasarkan temuan awal Komnas HAM yang juga menerjunkan tim ke Malang untuk menginvestigasi Tragedi Kanjuruhan, kekacauan berujung tewasnya seratusan orang itu bukan diawali kericuhan di dalam lapangan. Pihaknya justru menemukan kekacauan itu timbul karena gas air mata yang ditembakkan aparat untuk mengatasi suporter turun ke lapangan.

"Gas air mata lah yang membuat panik dan sebagainya sehingga ada terkonsentrasi di sana di beberapa titik pintu. Ada pintu yang terbuka sempit. Terus ada pintu yang tertutup. Itulah yang membuat banyak jatuh korban," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam jumpa pers pada 6 Oktober lalu.

Menurut Anam, kronologi peristiwa yang sebenarnya sesaat sebelum insiden itu penting untuk didalami. Sebab, narasi awal menyebut para korban jiwa yang jatuh akibat kekerasan suporter. Red.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak