Lambat Bahas APBD Papua Perubahan, Ketua DPRP: Demi Rakyat dan Gubernur Papua

klarifikasi-ketua-dpr-papua-klarifikasi-penyebab-terlambatnya-pembahasan-apbd-papua
Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw (JBR) klarifikasi keterlambatan sidang pembahasan RAPBD Perubahan Tahun Anggaran 2022

Jayapura –
Sejumlah anggota DPR Papua dari berbagai fraksi menyatakan sikap tidak percaya kepada Ketua DPR Papua Jhony Banua Rouw. Hal itu buntut dari terlambatnya pembahasan APBD Perubahan (APBDP) Provinsi Papua Tahun Anggaran (TA) 2022.

Menurut mereka keterlambatan sidang pembahasan RAPBDP TA 2022 untuk menetapkan APBD Perubahan TA 2022 disebabkan oleh Ketua DPR Papua yang tidak menggelar sidang pembahasan.

Jika Ketua DPR sibuk atau berhalangan, menurut mereka, ketua dapat menunjuk wakil untuk menggelar sidang agar ada penetapan APBD Perubahan TA 2022, namun hal itu tidak dilakukan oleh Ketua DPR Papua.

Menanggapi pernyataan sikap tidak percaya itu, Ketua DPR Papua Jhonny Banua Rouw kemudian melakukan klarifikasi dan mengungkap sejumlah penyebab belum adanya gelaran sidang APBD Perubahan (APBDP) Provinsi Papua Tahun Anggaran (TA) 2022.

“Fraksi berpendapat dan menyampaikan secara umum lewat media, sehingga saya pikir penting mengklarifikasi," kata Jhonny Banua Rouw kepada wartawan, Senin (17/10/2022).

"Oknum anggota dewan, yang mau menyatakan tidak percaya, itu haknya tapi mari berpegang pada aturan agar semua berjalan baik,” lanjutnya.

Menurutnya, sidang APBDP Provinsi Papua TA 2022 mengalami keterlambatan untuk dibahas disebabkan beberapa hal mendasar, yang di antaranya permasalahan pengungsi di berbagai daerah di Papua yang tidak menjadi salah satu materi pembahasan serius.

Ia mencontohkan seperti pengungsi Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan beberapa daerah lain yang seharusnya tidak sebatas diberikan kebutuhan pokok.

Selayaknya, kata Ketua DPR Papua, harus ada program bagi para pengungsi, misalnya memfasilitasi mereka pulang ke kampung halaman, menyiapkan sarana-prasarana (pendidikan dan kesehatan), membangun rumah bagi para pengungsi di kampung halamannya, serta memberikan bantuan bibit, ternak dan lain sebaginya.

“Itu yang saya minta," tegas Jhony Banua Rouw yang biasa disapa JBR itu.


Pihaknya juga menyayangkan jaminan beasiswa bagi anak-anak Papua yang sekolah maupun kuliah yang anggarannya rendah, sebab anggaran beasiswa dalam materi sidang APBDP memiliki perubahan alias tidak sesuai dengan yang dibicarakan sebelumnya bersama Biro SDM. Sehingga, menurutnya, perubahan itu akan berdampak pada beasiswa anak-anak mahasiswa pelajar Papua yang sedang kuliah dan sekolah di dalam maupun di luar negeri.

"Ini ada perbedaan. Tim Angaran Pemerintah Daerah (TAPD) hanya menganggarkan Rp 40 miliar. Sedangkan, saat kami bertemu Biro SDM, mereka menyatakan butuh anggaran kurang lebih Rp 200 miliar,” ujarnya.

Lebih lanjut politisi Partai NasDem Itu mempertanyakan siapa yang akan membiayai anak-anak mahasiswa pelajar Papua yang kuliah dan sekolah baik di luar Papua maupun di luar Indonesia, andaikata mereka hanya dianggarkan Rp 40 miliar kemudian anggaran itu tidak mencukupi hingga akhir tahun.

Dan, lanjutnya, siapa juga yang akan membiayai mahasiswa dan pelajar penerima beasiswa jika mereka tidak dibiayai. Sementara para mahasiswa pelajar penerima beasiswa itu berasal dari keluarga kurang mampu hingga tidak mampu.

Oleh karena itu, ia meminta ada kepastian anggaran agar tidak membebani keluarga mahasiswa pelajar Papua yang kurang mampu dan tidak mampu di kemudian hari.

“Itulah sebabnya, kami minta kepastian berapa uang yang dibutuhkan, agar anggaran tepat sasaran dan tidak menjadi masalah nantinya,” katanya.

Pihaknya juga meminta agar ada anggaran pemberdayaan ekonomi bagi Orang Asli Papua. Sebab, menurutnya, enam organisasi perangkat daerah OAP rumpun ekonomi yang menjadi mitra Komisi II DPR Papua hanya mendapat anggaran senilai Rp 34,4 miliar lebih dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) TA 2022.

Andaikan anggaran itu dibagi ke enam OPD rumpun ekonomi, lanjutnya, setiap OPD hanya akan mendapat Rp 5 miliar lebih dan nominal itu dinilainya rendah.

Bahkan, lanjutnya, DPR Papua menemukan anggaran senilai Rp 900 juta lebih untuk OPD krusial yang menangani masalah pertanian, perkebunan, tanaman pangan dan peternakan.

Jhony menilai anggaran Rp 900 juta itu hanya untuk operasional di OPD terkait dan tidak cukup untuk pemberdayaan. Kalau seperti itu, kata dia, jangan berharap rakyat asli Papua yang membutuhkan bantuan ternak, bibit dan lainnya akan mendapat bantuan yang nilainya kecil tersebut karena akan habis untuk operasional OPD.

“Kami minta itu Rp 60 miliar untuk OPD yang menangani pertanian, perkebunan, peternakan dan tanaman pangan ini, karena uang ini untuk rakyat," kata Jhony.

"Kalau Fraksi Demokrat minta [APBDP] disahkan cepat, [maka akan timbul pertanyaan] apakah mereka punya hati untuk rakyat? Saya tidak mau ikut berdosa,” tegasnya.

Masalah lain yang menghambat sidang APBDP Papua TA 2022 adalah terkait proyek multi years. Kontraknya, kata Jhony, melebihi plafon anggaran yang sudah disepakati antara pimpinan DPR Papua bersama Gubernur Papua tiga tahun silam dan kudu diselesaikan tahun ini.

Politisi NasDem itu kemudian mencontohkan plafon anggaran pembangunan Kantor Gubernur Papua, sebab Plafon anggaran pembangunan gedung itu senilai Rp 400 miliar. Namun, ketika DPR Papua rapat bersama Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Papua, OPD menyebut anggarannya Rp 413 miliar dan itu jelas melebihi plafon anggaran.

“Mestinya, nominal lelang di bawa pagu anggaran. [Oleh karena itu,] kami indikasikan ada pekerjaan-pekerjaan dibuat di luar kontrak, ada kontrak baru dibuat. Artinya, mendahului penggunaan anggaran,” terangnya.

Jhony mengatakan DPR Papua juga menemukan kejanggalan proyek multi years pembangunan beberapa gedung yang anggarannya ada di Dinas PU. Di antaranya; pembangunan Kantor Gubernur Papua, Kantor KPU, dan Kantor Majelis Rakyat Papua.

Menurutnya telah disepakati bersama bahwa pembangunan gedung-gedung itu menggunakan dana infrastruktur untuk multi years. Akan tetapi, dalam pelaksanannya, pembangunan-pembangunan itu menggunakan dana Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) sehingga menimbulkan pertanyaan kemana dana infrastruktur yang sudah disepakati itu.

“Digunakan membiayai apa? Program apa? Dana infra (infrastruktur) itu dipindahkan dan kami tidak mendapat penjelasan dipindahkan ke mana,” tuturnya.

Jhonny Banua Rouw juga menyatakan perihal oknum anggota DPR Papua, termasuk dari Fraksi Demokrat, yang meminta penyelesaian utang-utang pelaksanaan PON XX pada 2021 silam dan dianggarkan dalam ABT dengan nilai fantastis yakni senilai Rp 300 miliar.

Padahal, untuk mendukung semua kebutuhan pelaksanaan PON XX pada 2021 silam, telah dianggarkan dalam APBD Papua hingga 2021 senilai Rp 2,4 triliun lebih.

Ia kemudian mempertanyakan Rp 300 miliar itu akan digunakan untuk apa dan siapa yang bertanggung jawab, sebab tidak bisa anggaran dikeluarkan untuk obyek yang sama.

“Pertanyaan kami, kalau masih ada Rp 300 miliar tadi, pos apa yang akan kita bayarkan? Kalau kita sudah bayarkan, kemudian kita diminta membayarkan hal yang sama, siapa yang tanggung jawab? [Karena sejak awal] kami pimpinan sepakat tidak lagi menganggarkan untuk membiayai PON," tegas Jhony.

Selain itu, materi APBDP diterima DPR Papua pada 15 Juli 2022. Saat itu juga Ketua DPR Papua membuat disposisi agar semua komisi dewan menggelar rapat internal dan rapat dengan mitra.

Akan tetapi, dikatakan Jhony, materi APBDP yang diterima DPR Papua ketika itu tidak dilengkapi dokumen-dokumen pendukung yang kudu dilampirkan. Misalnya realisasi semester anggaran pendapatan dan belanja daerah pertama serta kronosisi enam bulan pertama tahun anggaran 2022.

Sesuai aturan, menurutnya, kelengkapan dokumen tersebut harus diserahkan eksekutif kepada legislatif paling lambat pada akhir bulan Juli 2022. Namun, lampiran dokumen yang merupakan kelengkapan dimaksud malah terlambat diserahkan pada 22 Agustus 2022.


DPR Papua, kata JBR,  juga sudah berulang kali melakukan pemanggilan terhadap OPD untuk hadir dalam rapat pembahasan yang dilakukan komisi-komisi dewan dengan mitra, namun ada OPD yang tidak hadir.

Yang hadir mengikuti rapat, lanjutnya, cuma kepala bidang dan staf dan mereka tidak kuasa menjawab berbagai hal terkait yang ditanyakan oleh dewan, padahal legislatif butuh data yang sahih.

“Ini berbagai alasannya, sehingga pembahasan APBD Perubahan Papua tertunda dan harus dilakukan lewat Peraturan Kepala Daerah (Perkada),” ujar Jhony.

Peraturan Kepala Daera (Perkada)

Agar tidak menimbulkan kekhawatiran terkait mekanisme Perkada yang baru pertama kali diterapkan di Provinsi Papua, Ketua DPR Papua itu kemudian menjelaskan terkait Perkada guna pelaksanaan APBD yang diperkenankan.

Kebijakan pelaksanaan APBD menggunakan Peraturan Kepala Daerah atau Perkada, kata Ketua DPR Papua, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

Aturan itu, lanjutnya, memungkinkan penggunaan Perkada dalam pelaksanaan APBD dan paling banyak sekali dalam setahun anggaran.

Provinsi Papua bukan daerah pertama di Indonesia yang menggunakan Perkada dalam APBD Perubahan. Sebelumnya, kata dia, beberapa daerah lain telah melakukan itu.

“Tahun lalu [Provinsi] Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua Barat dan DKI  Jakarta. Tahun ini ada DKI dan Maluku, ketiga Papua," katanya kepada wartawan.

DKI sendiri, lanjutnya, dua tahun berturut-turut menggunakan Perkada untuk pelaksanaan APBD dan tidak ada masalah dengan itu. oleh karena itu, ia meminta agar jangan ada pihak yang membangun opini-opini yang menyesatkan.

"Ini kita lakukan untuk menjaga uang rakyat agar dipakai tepat sasaran,” kata Jhonny Banua Rouw.

Ia juga meminta semua pihak melihat aturan-aturan yang ada dan terkait, agar tidak ada kesalahan untuk menafsirkan kemudian terbangun opini yang keliru. Sebab, pelaksanaan APBD menggunakan Perkada tetap dapat membiayai berbagai hal dari berbagai sektor.

DPR Papua dan TAPD, kata Jhony, telah menggelar rapat resmi pada 12 Oktober 2022 dan rapat dipimpin langsung oleh Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri.

Rapat ketika itu dihadiri Ketua DPR Papua, tiga Wakil Ketua DPR Papua, anggota DPR Papua Nason Uti, Sekwan DPR Papua dan para pimpinan OPD serta stafnya.

“Mestinya, Fraksi Demokrat  DPR Papua yang berpengalaman memberikan pemahaman sesuai mekanisme dan aturan, agar tidak menciptakan opini," kata Jhony.

"Memberikan pembelajaran yang baik kepada masyatakat,” lanjutnya.

Menjaga Penggunaan Anggaran dan Gubernur Papua 

Ketua DPR Papua Jhonny Banua Rouw juga berharap agar penggunaan anggaran tepat sasaran harus dijaga bersama. Hal itu supaya tidak ada dampak hukum di kemudian hari baik bagi DPR Papua maupun Gubernur Papua Lukas Enembe.

“Tugas saya menjaga pak gubernur, dan kalau [proses pembahasan atau pelaksanaan anggaran] itu tidak benar dan dapat berdampak hukum kemudian hari, saya harus sampaikan,” tegasnya.

Politikus Partai NasDem itu menegaskan, sebagai bagian dari partai pengusung Gubernur Papua Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Papua Alm. Klemen Tinal saat Pilgub 2018 silam, ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga Gubernur Papua melaksanakan tugas hingga akhir masa jabatan tanpa ada dampak setelahnya.

Menurutnya, ini juga merupakan amanat partai dan sudah semestinya anggota DPR Papua dari Fraksi Demokrat ikut menjaga pemerintahan Gubernur Papua Lukas Enembe hingga akhir masa jabatannya agar tidak ada dampak hukum dikemudian hari.

“Mari kita menjaga [pemerintahan Gubernur Papua] ini. Jangan kita [justru] menjebak Pak Gubernur. [Misalnya] juga [permintaan] penambahan dana hibah bagi pos kegiatan kepala daerah, itu tidak boleh.” harapnya.

Ia juga menegaskan apabila ada penambahan anggaran pada pos kegiatan kepala daerah, dalam kondisi Gubernur Papua yang dalam keadaan sakit sementara anggaran dilaporkan digunakan, itu berpotensi menimbulkan masalah kepada Gubernur Lukas Enembe dikemudian hari.

“Ini pos dalam kegiatan dan kini beliau sedang sakit. Kalau kita menambah pos di sana dan beliau bikin kegiatan, ini akan jadi pertanyaan karena beliau sedang sakit," tuturnya.

"Inilah alasan-alasan sehingga pembahasan APBD tertunda dan harus dilakukan lewat Perkada dan Perkada itu tidak hanya di Papua,” lanjutnya.

Ia berharap penjelasannya dapat membuat masyarakat Papua dan berbagai pihak mengerti situasi yang terjadi kini, sehingga pembahasan APBDP Papua TA 2022 terlambat. 

“Semua anggota dewan ini mestinya memahami aturan dan memberi pembelajaran yang baik kepada masyarakat,” pungkasnya. Stv

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak