Hakim Mahkamah Konstitusi (sumber: kompas.com) |
Yapekopa, Jakarta - Penunjukan pelaksana tugas atau Plt kepala daerah oleh Pemerintah Pusat yang termuat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan uji materi itu di daftar oleh perwakilan Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JRMK) Eny Richayati dan Komarudin bersama tujuh orang yang berasal dari berbagai kota dan kabupaten di Provinsi Papua dengan kuasa hukum mereka dari kantor hukum Lokataru Law and Human Right Office.
"Hari ini Rabu, dua orang anggota Jaringan Rakyat Miskin Kota yaitu Eny Rochayati dan Komarudin bersama tujuh orang yang berasal dari berbagai kota dan kabupaten di Provinsi Papua dengan kuasa hukum dari kantor hukum Lokataru Law and Human Right Office, mendaftarkan permohonan uji materi terkait pasal pengangkatan kepala daerah ke MK," kata Koordinator JRMK Minawati seperti yang kami kutip dari keterangan tertulisnya.
Dijelaskan oleh Minawati, UU No. 10 Tahun 2016 mengatur daerah-daerah yang seharusnya menyelenggarakan Pilkada pada 2022 dan 2023 akan melaksanakannya pada 2024. Dan untuk mengisi kekosongan jabatan, diangkatlah Pejabat Kepala Daerah oleh Pemerintah Pusat.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan hak otonomi daerah. Selain itu, pemilihan pejabat kepala daerah oleh pusat juga mencederai demokrasi.
"Hal itulah yang JRMK tengarai sebagai kudeta dari pemerintah pusat terhadap otonomi daerah atau demokrasi," ujar Minawati dalam keterangan tertulisnya.
Ia dan pihaknya menilai keberadaan Pasal 201 ayat (9) beserta penjelasannya, ayat (10), dan ayat (11) UU Nomor 10 Tahun 2016 merugikan hak konstitusional masyarakat banyak yang memiliki hak untuk memilih kepala daerah.
Kata Minawati, hal tersebut sesuai dengan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan melanggar prinsip kedaulatan di tangan rakyat sesuai ayat (2) Pasal 1 UUD 1945.
Minawati menuturkan, Eny dan Komarudin yang mengajukan uji materi ke MK merupakan warga Jakarta yang tinggal di wilayah yang sudah terbentuk pemukiman selama puluhan tahun, tetapi belum disertai dengan jaminan kepastian keamanan bermukim.
Tempat tinggal mereka berdua rawan terjadi pembongkaran paksa. Sehingga Pilkada bagi Eny dan Komarudin dapat dimanfaatkan untuk mencari solusi yang juga dapat mengakomodir hak dan kepentingan mereka.
"Eny Rochayati dan Komarudin aktif memanfaatkan momentum pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk memasukkan aspirasi mereka ke kandidat kepala daerah yang mencalonkan diri," ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Minawati, Eny Rochayati dan Komarudin dalam petitumnya meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar memutuskan bahwa pasal-pasal yang menghilangkan hak konstitusional mereka berdua di atas dinyatakan "konstitusional bersayarat sepanjang dimaknai:
- Ada ketentuan mengenai mekanisme pengisian Pejabat Kepala Daerah yang demokratis;
- Calon Pejabat kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat;
- Ada ketentuan yang jelas mengatur persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas, dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah;
- Dapat memperpanjang masa jabatan Kepala Daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada tahun 2022 dan 2023;
- Bukan berasal dari kalangan kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; dan
- Independen dan bukan merupakan representasi kepentingan politik tertentu dari presiden atau Pemerintah Pusat. (Redaksi)
WhatsApp +6282122323345
email admin@yapekopa.org