Kejahatan Freeport Terhadap Karyawan Mogok Kerja

kejahatan_pt-freeport_indonesia_di-papua
Aser Gobai, Penanggung Jawab Mogok Kerja di Lingkungan PT Freeport Indonesia

Mogok kerja adalah sarana bagi pekerja/buruh untuk menghadapi majikannya (pengusaha) dan mogok kerja sendiri telah diatur lebih jauh melalui regulasi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diratifikasi dari konvensi internasional yang menjelaskan tujuan dan perlindungan terhadap Mogok Kerja.

Mogok kerja biasa dan bebas dilakukan jika ada perselisihan yang tidak dapat diselesaikan baik secara bipartit maupun mediasi antara pekerja/buruh dan pengusaha, dan yang dipicu dengan adanya pelanggaran terkait hak normatif pekerja/buruh yang dilanggar oleh pengusaha.

Contoh kasus seperti perusahaan PT Freeport Indonesia. Melalui Achmad Ardianto, Executive Vice President - Director Human Resources and Security PT Freeport Indonesia (2017-2020) yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Timah Tbk., melakukan pelanggaran kebebasan berserikat dan pelanggaran hak asasi manusia kepada para pekerja di lingkungan freeport, saat setiap perusahaan mineral dan pertambangan di Indonesia, yang masih melakukan operasi dengan skema Kontrak Karya, diwajibkan oleh Pemerintah untuk merubah skema ijin operasi Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus. Dan freeport menjadikan proses ini sebagai momentum untuk memberanguskan Serikat Pekerja di dalam lingkungan PT Freeport Indonesia dengan menciptakan kebijakan yang tidak manusiawi.

Merespon langkah freeport dalam menghadapi pemerintah yang terus mendesak freeport, untuk tunduk terhadap hukum dan undang-undang di Indonesia, yang mana freeport menggunakan cara-cara yang melanggar peraturan perundang-undangan dan Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia Edisi XIX 2015-2017 untuk melawan dan menekan pemerintah, pekerja mulai memberikan pengaduan-pengaduan kepada Serikat Pekerja karena langkah yang digunakan freeport untuk melawan dan menekan pemerintah adalah langkah yang diskriminatif, sewenang-wenang, tidak bertanggung jawab dan menimbulkan keresahan dan ancaman di kalangan pekerja di tiap departemen dan seksi.

Setelah mempelajari dan memeriksa kegiatan freeport untuk melawan pemerintah, serikat pekerja dapati bahwa freeport menggunakan cara-cara yang melanggar Asas Jaminan Hukum dan HAM yang mewajibkan freeport untuk patuh terhadap norma Hukum/HAM dan Asas Kepastian Hukum yang harus mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan perjanjian kerja bersama.

Serikat pekerja pun mengambil langkah-langkah yang diatur dan diakui dalam perjanjian kerja bersama dan Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan meminta freeport untuk tidak menggunakan pekerja sebagai alat untuk menekan pemerintah, dan serikat pekerja juga meminta pemerintah untuk melakukan perlindungan kepada para pekerja karena semua upaya baik yang dilakukan serikat pekerja tidak mendapat respon dari perusahaan sehingga pekerja terus yang menjadi korban.

Dari semua upaya baik dan kekeluargaan yang dilakukan serikat pekerja untuk melindungi anggota serikat pekerja yang terancam dengan kondisi dan kebijakan perusahaan yang tidak manusiawi, serikat pekerja tidak mendapat konsen dan perhatian serius baik dari pihak Pengusaha maupun Pemerintah.

Dan itu semakin memperburuk situasi di setiap lokasi kerja dalam lingkungan PT Freeport Indonesia, karena pekerja merasa resah dan terancam dengan kebijakan perusahaan. Merasa resah dengan kondisi perusahaan yang kian hari Achmad Didi Ardianto tidak menghormati Perjanjian Kerja Bersama dan Pedoman Hubungan Industrial yang merupakan hukum otonom dalam lingkungan perusahaan freeport, pekerja secara spontanitas melakukan protes keras terhadap manajemen PT Freeport Indonesia atas kebijakan-kebijakan mereka yang melanggar asas-asas yang harus dipatuhi oleh freeport.

Aksi protes dan mogok kerja di Freeport pun pecah. Pengusaha tidak dapat mencegah mogok kerja untuk tetap berlanjut, meskipun pekerja melalui serikat pekerja sudah mengajukan syarat-syarat dalam perundingan awal yang dijembatani oleh pemerintah dan lembaga pemerintah terkait, agar mogok kerja tidak berlanjut.

Namun sayang, syarat yang tidak berat itu ditolak oleh Pengusaha melalui manajemen perusahaan di Timika, Papua, dan lembaga kementerian yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, serta pemerintah daerah setempat di Timika yang mulai menunjukan perilaku tidak bertanggung jawab atas persoalan ini.

Mogok kerja yang berlanjut itu tidak mendapat pengakuan freeport, karena freeport menganggap mogok kerja yang dilakukan pekerja tidak sah. Sementara semua pihak yang hadir dalam ruang pertemuan, di Rimba Papua Hotel, menyaksikan dan mendengarkan bahwa perundingan yang difasilitasi oleh Pemerintah tidak mendapat titik temu dan pekerja memilih melanjutkan mogok kerja sampai perusahaan beri kepastian terkait 4 Point pembahasan dalam perundingan yang ditolak oleh freeport.

Dan karena tidak ada kepastian dan kejelasan dari freeport terhadap pekerja yang terancam di PHK karena melakukan protes keras atas kebijakan perusahaan yang tidak pernah dirundingkan, tidak pernah didiskusikan, tidak pernah disosialisasikan, tidak diberikan kesempatan kepada pekerja untuk membela diri dan didampingi atau diberi pilihan untuk menolak, menyasar fungsionaris dan pengurus serikat pekerja, serta pekerja yang menolak kebijakan perusahaan itu diberi kesempatan hanya dua hari untuk mengosongkan Barak dan apabila pekerja tidak keluar dalam batas waktu dua hari, maka pekerja yang dikenai kebijakan tidak manusiawi itu akan diusir secara paksa dari Barak. Maka pekerja terpaksa tetap memilih untuk menggunakan hak mogok kerjanya untuk menekan perusahaan.

Perusahaan melakukan pemanggilan kembali bekerja pada saat pekerja sedang melakukan mogok, tetapi para pekerja menolak panggilan perusahaan karena pemanggilan dimaksudkan bukan untuk berunding sebagaimana alasan pekerja tetap melanjutkan mogok kerja.

Alih-alih sudah melakukan pemanggilan kembali bekerja untuk setiap pekerja yang melakukan mogok kerja, kenyataannya perusahaan hanya melakukan pemanggilan kembali bekerja kepada beberapa pekerja sehingga pekerja yang lain tidak pernah mendapat surat panggilan dari perusahaan untuk membalas surat panggilan itu dengan menyampaikan alasan-alasan mengapa pekerja melakukan mogok kerja dan apa yang harus dilakukan pihak perusahaan agar pekerja bisa menunda maupun menghentikan mogok kerja. Karena alasan pekerja tetap melanjutkan untuk mogok adalah alasan paling rasional dan masuk akal, jika melihat gerakan manajemen freeport dalam perusahaan yang memprovokasi dan mengakomodir pekerja yang tidak mogok untuk membuat dan menandatangani surat ilegal yang berisi penolakan terhadap pekerja yang lakukan protes hingga mogok kerja.

Karena pemerintah menunjukkan perilaku seperti telah menerima suap dari freeport, sehingga mereka (pemerintah) bungkam atas pelanggaran kebebasan berserikat yang dilakukan freeport terhadap karyawannya yang melakukan mogok kerja, freeport pun melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap pekerjanya dan tanpa penetapan yang berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Hubungan Industrial, yang kemudian freeport menonaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatan para karyawannya yang sedang melakukan mogok kerja menggunakan aplikasi e-DaBu milik BPJS Kesehatan.

Akibat dari kejahatan manajemen freeport pimpinan Achmad Didi Ardianto yang menonaktifkan layanan kesehatan BPJS milik karyawan, menyebabkan sedikitnya 100 orang karyawan yang melakukan mogok kerja telah meninggal dunia, dan itu belum termasuk tanggungan langsung para pekerja.

Dalam perjalanan perjuangan mogok yang dimulai sejak 1 Mei 2017 itu, Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP SPSI) yang tidak mendapat mandat maupun kuasa dari pekerja, melakukan pembahasan secara sembunyi-sembunyi dengan PT Freeport Indonesia dan yang disaksikan oleh pihak Kementerian Ketenagakerjaan, Komisi IX DPR RI, dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika. Pembahasan itu menghasilkan satu kesepakatan bersama yang dikenal dengan PB-21 (Perjanjian Bersama 21 Desember 2017).

Perjanjian Bersama itu dibuat dengan melanggar hukum dan melanggar hak-hak pekerja yang tertuang dalam perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dan itu menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia kepada pekerja dan keluarganya. Perjanjian Bersama yang dibuat dengan melanggar hukum dan tidak memperhatikan hak asasi manusia milik para pekerja mogok, ditandatangani oleh Achmad Didi Ardianto (pihak pengusaha) dan R. Abdullah sebagai pihak PP SPSI dan ketahui oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian ESDM, Komisi IX DPR RI yang ditandatangani oleh Tenaga Ahli, dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Mimika.

Atas kejahatan Achmad Didi Ardianto dan R. Abdullah yang didukung oleh pihak-pihak terkait melalui PB-21, memaksa Pekerja Mogok melalui kuasa hukumnya Lokataru Law & Human Right Office melayangkan Somasi kepada Pimpinan Perusahaan, Menteri Tenaga Kerja, dan Serikat Pekerja Pimpinan Pusat.

Somasi itu menjelaskan duduk persoalan mogok kerja yang bukan bagian dari permasalahan privat melainkan permasalahan publik sehingga harus menggunakan hukum publik untuk menyelesaikan permasalahan mogok kerja. Dan karena permasalahan mogok kerja ini menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dan pemerintah yang berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya jadi terabaikan.

Atas peristiwa singkat di atas, pekerja mogok memutuskan berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang tidak dipenuhi, tidak dihormati dan tidak dilindungi oleh PT Freeport Indonesia dan Pemerintah. Dari semua upaya yang dilakukan pekerja baik di Jakarta, Jayapura dan Timika, menghasilkan produk-produk pemerintah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan produk-produk itu memberikan angin segar bahwa PT Freeport Indonesia harus penuhi hak-hak para pekerjanya selama mogok kerja. Tetapi sayang, aktor yang memulai kejahatan terhadap pekerja mogok sudah lebih dulu meninggalkan PT Freeport Indonesia dan berpindah tempat kerja ke perusahaan lain tanpa penuhi hak-hak pekerja mogok.

Sekalipun aktor kejahatan itu sudah berpindah tempat kerja, kewajiban PT Freeport Indonesia terhadap pekerja mogok tidak pernah hilang selama belum dipenuhi, dan itu dipertegas juga melalui rekomendasi Dirjen HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Ketenagakerjaan dalam satu forum, tetapi Pimpinan PT Freeport Indonesia saat ini yang juga kejam masih keberatan dengan alasan yang tidak masuk akal, jika kita melihat freeport yang sudah melakukan operasional selama lebih dari 50 Tahun di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Para Pekerja Mogok dari karyawan PT Freeport Indonesia, Perusahaan Privatisasi, Kontraktor dan Subkontraktor masih terus memperjuangkan hak-hak mereka yang dilanggar oleh PT Freeport Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang bermitra dengan freeport. Ada yang berjuang di Jakarta, Jayapura, dan Timika dan semua mereka lakukan agar hak mereka dapat dipenuhi oleh Freeport dan mendapat perlindungan dari negara.

Untuk itu, kami terus mendesak negara dan pemerintah serta penegak hukum dapat mengambil langkah-langkah hukum karena PT Freeport Indonesia telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia Edisi XIX 2015-2017.

Aser Koyamee Gobai, S.T.

Penanggung Jawab Mogok Kerja
PT Freeport Indonesia, Perusahaan Privatisasi, Kontraktor dan Subkontraktor

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak