Aser Gobai, S.T. Penanggung Jawab Karyawan Mogok Kerja Freeport |
Timika- Presiden PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, dan Ketua Serikat Pekerja Mandiri Papua, Virgo Solosa, dalam pemberitaan media elektronik Tribun Manado.co.id pada Tanggal 17 Maret 2022 yang berjudul "PT Freeport Indonesia Pastikan Penuhi Hak 3 Ribuan Karyawan yang Mengundurkan Diri", mengatakan bahwa para pekerja PT Freeport Indonesia, perusahaan Privatisasi, Kontraktor dan Subkontraktor yang melakukan mogok kerja sejak Tahun 2017 dan yang masih berlangsung sampai saat ini merupakan karyawan yang di PHK karena mangkir kerja dan jumlah yang disebut-sebut tidak sesuai.
Mengetahui ada berita tersebut, redaksi Yapekopa menghubungi Aser Gobai selaku penaggung jawab karyawan mogok kerja freeport guna meminta tanggapannya atas pemberitaan TribunManado.co.id itu. Aser Gobai menjelaskan bahwa pernyataan Tony Wenas adalah pernyataan yang sewenang-wenang dan tidak menghormati Perjanjian Kerja Bersama serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu Aser sampaikan karena pekerja melalui serikat pekerja sudah melayangkan surat permintaan berunding sebanyak tiga kali tetapi ditolak oleh PT Freeport Indonesia dengan alasan yang tidak diterangkan dan tidak bisa dibuktikan bahwa perusahaan mengalami kerugian untuk mengambil kebijakan strategis perusahaan.
"Pekerja melalui serikat pekerja sudah melayangkan surat permintaan atau ajakan berunding sebanyak tiga kali untuk membicarakan mengenai istilah furlough yang harus diakomodir Perjanjian Kerja Bersama, agar bisa digunakan dalam lingkungan perusahaan, dan karena penerapan furlough yang menjadi alasan pekerja melakukan mogok kerja. Namun sayangnya perusahaan menolak permintaan berunding dari serikat pekerja, sementara kewajiban perusahaan yang salah satunya berada dalam bagian MUKADIMAH Perjanjian Kerja Bersama tertulis bahwa 'perusahaan harus menaati dan melaksanakan semua ketentuan di dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama) ini serta tunduk kepada peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.' Perusahaan melakukan pemanggilan kembali bekerja pun saat mogok kerja sudah berjalan sejak 1 Mei 2017 dan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 143, siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja melakukan mogok kerja dan pasal 144 serta pasal 145 semakin memperkuat mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja." Jelas Aser melalui pesan aplikasi WhasApp.
Mendengar penjelasan dari Aser Gobai dan ada kata "Furlough", kami dari redaksi Yapekopa coba untuk bertanya lebih jauh mengenai furlough yang baru saja ia sebutkan, dan Aser Gobai pun lanjut memberikan penjelasan bahwa istilah furlough ini tidak pernah dikenal dalam Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia Tahun 2015-2017 dan tidak dikenal juga dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Furlough ini sebuah istilah asing yang tidak pernah dikenal dalam Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia 2015-2017 dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sekali lagi, yah, ini istilah asing. Kalau itu sebuah istilah, maka pengertiannya atau definisinya cuma satu dan tidak bisa digunakan seperti sebuah kata yang maknanya bisa ambigu atau lebih dari satu. Sementara dalam perjanjian kerja bersama freeport, ada daftar istilah dalam Bab I pasal 1. Nah, istilah-istilah ini sudah disepakati dengan defisinisinya oleh perusahaan dan pekerja melalui serikat pekerja untuk menghindari terjadinya pengertian yang berbeda." Lanjut Aser.
Aser pun memberikan contoh bahwa dalam perjanjian kerja bersama freeport sudah ada istilah yang disepakati untuk merumahkan pekerja dan hak-hak apa saja yang didapat, selama seorang pekerja dirumahkan, serta kepastian kembali bekerja atau harus berlanjut ke pengadilan pemutusan hubungan kerja sepihak.
"Saya kasih contoh, di luar freeport atau dalam peraturan perundang-undangan dikenal istilah 'merumahkan'. Merumahkan ini biasannya hanya untuk sementara sebagai bentuk sanksi atau untuk menekan pengeluaran perusahaan seperti yang mungkin dilakukan banyak perusahaan terdampak pandemi Covid-19 kemarin dengan pekerja tetap mendapatkan hak-haknya atau tidak, tergantung perjanjian kerja bersama atau kesepakatan kerja. Sementara di Freeport, kami pakai istilah 'Temporary Relieve From Duty(RFD)', dan RFD ini pengertiannya adalah 'pembebastugasan sementara pekerja dari tugas/pekerjaannya untuk proses investigasi atau proses penyelesaian proses pidana. Jadi, RFD dikenai kepada pekerja yang diduga melakukan pelanggaran disiplin kerja dan ini hanya sementara serta berlaku dalam satu bulan sejak RFD itu dikenai kepada pekerja baik melalui surat yang ditandatangani atau melalui sistem ketika ada pelaporan/pengaduan yang diterima departemen terkait." Contoh Aser yang disampaikan kepada redaksi Yapekopa.
Lebih jauh Aser menerangkan bahwa furlough yang digunakan freeport adalah bentuknya sanksi atau sebagai bentuk Pemutusan Hubungan Kerja Terselubung, bukan sebagai bentuk kebijakan efisiensi seperti apa yang disampaikan oleh freeport kepada berbagai media dan kepada pemerintah. Sehingga, pekerja yang dikenai istilah furlough digugat oleh PT Freeport Indonesia sendiri ke Pengadilan Hubungan Industrial seperti pekerja yang dikenai program furlough melakukan pelanggaran. Dan ini yang ditentang oleh para Pekerja, karena furlough menyasar pengurus, fungsionaris, dan anggota serikat pekerja yang aktif dan vokal untuk memperjuangkan kesejahteraan pekerja dalam lingkungan Freeport. Sementara, para pekerja yang dikenai program furlough tidak melakukan pelanggaran, dan itu membuat para pekerja semuanya merasa terancam.
"Kalau apa yang dilakukan manajemen lokal freeport ini berbeda. Pekerja dikenai program furlough seakan para pekerja ini dikenai sanksi akibat melanggar tata tertib kerja. Padahal pekerja tidak melakukan pelanggaran apa-apa. Dan inikan PHK terselubung, makanya pengertian furlough menurut freeport semata sangat merugikan pekerja. Dan karena pekerja dirumahkan tanpa batas waktu yang ditentukan, tanpa ada kepastian kembali bekerja, tanpa kriteria, serta mempengaruhi penghasilan pekerja yang biasa diterima pekerja dikala kerja seperti biasa." Terang Aser.
Mengenai pernyataan Virgo Solosa terkait jumlah pekerja, menurut Aser Gobai, Pekerja yang melakukan mogok kerja bukan cuma PT Freeport Indonesia, karena ancaman PT Freeport Indonesia untuk menekan Pemerintah saat itu punya dampak pada karyawan dari perusahaan-perusahaan yang bermitra dengan PT Freeport Indonesia, sehingga Virgo solosa diminta untuk tidak menutup mata dan telinga dengan fakta yang sebenarnya.
"Virgo Solosa dan Lukas Saleo inikan orang cukup senior baik dalam organisasi serikat pekerja di lingkungan perusahaan maupun sebagai karyawan langsung, dan mereka tahu mogok kerja ini jumlahnya berapa dan pekerja mana saja yang terlibat. Hanya saja itu, terkhusus Virgo Solosa, sekalipun dia Ketua Serikat Pekerja Mandiri Papua dalam lingkungan PT Freeport Indonesia, dia juga bisa dikatakan bagian dari manajemen PT Freeport Indonesia karena statusnya sebagai pekerja staf permanen di freeport. Kami punya bahan yang bisa memperjelas dia berbicara sebagai bagian dari perusahaan ataukah pernyataannya sebagai bagian dari Serikat Pekerja/Buruh yang punya kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi dan memperjuangkan serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya." Kata Aser.
Aser melanjutkan mengenai pernyataan Virgo dan Lukas soal mangkir kerja yang dikatakan sebagai alasan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja.
"Mangkir kerja inikan bahasa atau anggapan perusahaan manajemen PT Freeport Indonesia kepada para pekerja, yang kemudian digunakan Virgo dan Lukas Saleo. Dan ini jelas pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dan kejahatan terhadap pemogokan yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang. Untuk menjustifikasi mangkir kerja sendiri pun harus melalui mekanisme Bipartit, guna mendapatkan informasi atau fakta yang aktual. Dan apabila Bipartit tidak mencapai kesepakatan melalui mekanisme Bipartit, menurut Perjanjian Kerja Bersama bagian Pedoman Hubungan Industrial Pasal 36, akan dilanjutkan melalui mekanisme Mediasi. Oleh sebab itu, perusahaan diminta, dalam pasal 36 tersebut, mencatatkan perselisihan hubungan Industrial dengan melampirkan risalah perundingan bipartit ke Dinas Tenaga Kerja. Selanjutnya, apabila mekanisme Mediasi tidak terjadi kesepakatan, maka dalam pasal 37 perusahaan diminta untuk mendaftarkan gugatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial. Inilah sayangnya, kewajiban perusahaan ini tidak dijalankan, makanya timbul pelanggaran norma kerja yang telah bertransformasi menjadi pelanggaran hak asasi manusia." Lanjut Aser.
Aser menutut dan menekan agar PT Freeport Indonesia taat asas-asas yang berlaku dalam perjanjian kerja bersama dan perilaku Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang memberikan kewajiban kepada setiap pengusaha untuk menghormati hak asasi manusia para pekerjanya.
"Saya, dan saya yakin teman-teman Moker juga, cuma minta agar PT Freeport Indonesia untuk hormati hak-hak kami yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama Freeport yang memuat asas-asas dari Konvensi ILO 87 tentang Kebebasan Untuk Berserikat, Konvensi ILO 98 Pengakuan Yang Efektif Tentang Hak Untuk Perjanjian Kerja Bersama dan Konvensi ILO 100 & 111 mengenai Penghapusan Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan, hukum dan konvensi internasional yang mendasari pembuatan perjanjian kerja bersama. Sekalipun kami tidak tertutup untuk berbicara lebih lanjut, mengenai Surat Gubernur Papua yang sudah menegaskan bahwa PT Freeport Indonesia segera membayarkan hak-hak para pekerja yang melakukan mogok kerja dan kembalikan para pekerja untuk bekerja di tempat semula. Penegasan Gubernur ini kan dikeluarkan berdasarkan proses tata cara yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan manapun di Indonesia." Tutup Aser.
Untuk diketahui, manajemen PT Freeport Indonesia usai penandatangan perjanjian kerja bersama di salah satu hotel di Manado, mereka berbicara kepada media bahwa PT Freeport Indonesia telah penuhi hak pekerja yang melakukan mogok kerja. Sementara hingga saat ini hak-hak pekerja mogok yang harus dipenuhi oleh PT Freeport Indonesia tidak pernah dipenuhi dan mengakibatkan para pekerja mogok mengalami berbagai macam penderitaan karena sikap freeport yang tidak menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. (Samuel)