YAPEKOPA

Perjuangan Ribuan Buruh Moker Freeport Belum Ada Titik Temu, LBH Papua Ingatkan Pemerintah dan Freeport

lbh-papua-emanuel-gobai-moker-freeport
Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua. (Doc: Jubi)

Jayapura- LBH Papua masih terus ingatkan Pemerintah Pusat dan PT Freeport Indonesia atau anak perusahaan asal Amerika Serikat, Freeport McMoRan Copper & Gold Inc. Menurut LBH Papua, sudah melalui serangkaian perjuangan yang dilakukan oleh para pekerja mogok kerja, sehingga sudah seharusnya menjadi dasar pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit dan PT Freeport Indonesia membayarkan hak-hak pekerja Ribuan Buruh Freeport. Akan tetapi itu tidak pernah dilakukan oleh penguasa dalam hal ini Pemerintah dan Freeport.

Menyampaikan pesan 5 Tahun perjuangan para karyawan pekerja Mogok Kerja Freeport, LBH Papua keluarkan pernyataan pers yang ditujukan kepada Pemerintah Pusat hingga Daerah dan kepada PT Freeport Indonesia itu sendiri.

Siaran Pers Nomor : 007/SP-LBH-Papua/V/2022
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEGERA TINDAKLANJUTI DUA REKOMENDASI KOMNAS HAM RI DEMI PEMENUHAN HAK 8.300 BURUH MOGOK KERJA PT.FREEPORT INDONESIA

“Target Penguasaan 51 % Saham PT.Freeport Indonesia Dan Pembangunan Smelter Telah Terwujud. Pemerintah Dilarang Abaikan Hak-Hak Buruh 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia Korban Pemberlakuan PP No 1 Tahun 2017 demi Perebutan Saham”

Pemberlakuan kebijakan Furlough secara sepihak oleh manajemen PT.Freeport Indonesia kepada Buruh PT.Freeprot Indonesia pasca Pemerintah mengeluarkan dan mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dimana melalui Kontrak Karya (KK) diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang mempengaruhi produksi PT.Freeport sehingga PT.Freeport Indonesia mengeluarkan Program Fourlogh.

Melalui fakta itu secara langsung menunjukan bahwa penerapan kebijakan Furlough oleh Manajemen PT.Freeport Indonesia kepada 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia merupakan korban langsung atas penerapan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Di atas 8.300 buruh PT. Freeport Indonesia korban penerapan PP Nomor 1 Tahun 2017, Serikat Buruh terus berjuang dengan berpatokan pada ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan PKB/PHI 2015-2017 yang tidak mengatur mengenai furlough maka serikat buruh melayangkan Surat Perundingan sebanyak 3 (tiga) kali yaitu pada tanggal 20 Februari 2017 dengan Nomor Surat : ADV.015/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017, 11 Maret 2017 dengan Nomor Surat : ADV/025/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017, dan pada tanggal 21 Maret 2017 dengan Nomor Surat : ADV/027/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017.

Selanjutnya pada tanggal 30 April 2017 terjadi perundingan namun Manajemen PT.Freeport Indonesia tetap pada pendiriannya tetap melakukan kebijakan furlough dan mengabaikan permintaan serikat buruh dan akhirnya disimpulkan sebagai fakta perundingan gagal. Maka serikat buruh melayangkan Surat Pemberitahuan Mogok Kerja yang akan dimulai pada tanggal 1 Mei 2017 hingga ada perundingan ke Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Mimika.

Atas dasar itu menunjukan bahwa perjuangan mogok kerja yang dilakukan oleh 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia telah sesuai dengan ketentuan Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana diatur pada pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ditengah 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia sedang melakukan perjuangan mogok kerja, manajemen PT.Freeport Indonesia secara sepihak memutuskan gaji pokok dan BPJS milik 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia, padahal ada ketentuan “Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah” sebagaimana diatur pada Pasal 145, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Atas sikap manajemen PT.Freeport Indonesia maka pada tahun 2017 serikat pekerja mengadukan ke Komnas HAM RI selanjutnya Komnas HAM RI mengeluarkan Surat Nomor : 1475/R-PMT/X/2017 perihal Rekomendasi terkait PHK PT.Freeport Indonesia yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 23 Oktober 2017 namun Presiden Republik Indonesia tidak melakukan tindakan apapun.

Selanjutnya pada tahun 2018 serikat pekerja mengadukan ke Komnas HAM RI selanjutnya Komnas HAM RI mengeluarkan Surat Nomor : 178/TUN/XI/2018 perihal tindak lanjut terkait PHK dan Pencabutan Layanan BPJS yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 2 November 2018 namun Presiden Republik Indonesia tidak melakukan tindakan apapun.

Di atas tidak adanya upaya apapun dari Presiden Republik Indonesia atas kedua surat rekomendasi dari komnas HAM RI di atas, pada tahun 2018 Pemerintah Indonesia malah berhasil mendapatkan hasil implementasi PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara melalui perundingan dengan PT.Freeport Mc MoRan dengan hasil 4 (empat) poin hasil perundingan, sebagai berikut:

  • Mengharuskan Freeport untuk melakukan divestasi saham kepemilikan PT. Freeport Indonesia 51 persen untuk pihak Indonesia- dimana 10 persen dimiliki oleh Pemerintah Daerah Papua dan kabupaten Mimika;
  • Freeport harus membangun smelter di Indonesia dalam waktu 5 tahun;
  • Kepastian penerimaan negara (pajak pusat dan daerah dan penerimaan negara bukan pajak) harus lebih tinggi dibandingkan periode kontrak karya dan pemberian kepastian Invetasi selama masa operasi;
  • Perpanjangan masa operasi PT. Freeport Indonesia selama 2x10 tahun hingga 2041 melalui penerbitan IUPK (Baca : https://www.cnbcindonesia.com/news/20181222100458-4-47593/sri-mulyani-ungkap-kesuksesan-ri-raih-5u1-saham-freeport).
  • Sekalipun Pemerintah Indonesia telah menang dalam perundingan dan mendapatkan 4 (emat) hal sebagaimana disebutkan di atas, namun melalui sikap abainya Presiden Republik Indonesia atas kedua Surat Komnas HAM RI di atas telah membuat manajemen PT.Freeport Indonesia tidak merasa bersalah apapun, padahal tindakan pemberlakuan kebijakan Furlough telah melanggar hak atas kesejahteraan keluarga 8.300 buruh PT.Freeport Indonesia yang melakukan Mogok Kerja, melanggar Hak atas pendidikan ribuan anak-anak Buruh PT.Freeport Indonesia yang melakukan Mogok Kerja, meretakkan puluhan bahtera keluarga buruh akibat masalah ekonomi dan bahkan merenggut hak hidup dari 100-an lebih buruh PT.Freeport Indonesia yang melakukan Mogok Kerja terenggut akibat kesulitan membayar biaya pengobatan di Rumah Sakit.

    Atas dasar itu, secara langsung menunjukan bahwa Pemerintah Republik Indonesia hanya sibuk berpikir tentang penguasaan dan pengolahan SDA Papua dan mengabaikan hak-hak buruh PT.Freeport Indonesia.

    Fakta itu, tentunya mempertanyakan komitmen Presiden Republik Indonesia selaku kepada pemerintah dalam melakukan tugas perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan perintah ketentuan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Dalam rangka mendorong Presiden Republik Indonesia selaku kepala pemerintahan wajib menjalankan tanggung jawab konstitusional dalam rangka melindungi hak buruh PT. Freeport Indonesia di atas fakta Pemerintah Indonesia telah menguasai 50% saham PT.Freeport Indonesia serta telah dibangunnya Smelter di Gresik, Jawa Timur, sesuai dengan target pemberlakuan pemberlakuan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, maka sudah seharusnya Presiden Republik Indonesia menjalankan Rekomendasi Komnas HAM RI untuk menyelesaikan persoalan 8,300 Buruh PT.Freeport Indonesia yang sedang melakukan Perjuangan Mogok Kerja sesuai ketentuan Pasal 137 ayat (1), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    Atas dasar itu, Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hokum 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia menegaskan kepada:

      Presiden Republik Indonesia segera selesaikan persoalan 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja secara sah berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sesuai Surat Komnas HAM RI Nomor : 1475/R-PMT/X/2017 tertanggal 23 Oktober 2017 dan Surat Komnas HAM RI Nomor : 178/TUN/XI/2018 tertanggal 2 November 2018;
      Mentri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera perintahkan Manajemen PT.Freeport Indonesia untuk berikan upah kepada 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia yang melakukan mogok sesuai perintah Pasal 145, UU Nomor 13 Tahun;
      Ketua Komnas HAM RI segera pastikan Presiden Republik Indonesia menjalankan menindaklanjuti Surat Komnas HAM RI Nomor : 1475/R-PMT/X/2017 tertanggal 23 Oktober 2017 dan Surat Komnas HAM RI Nomor : 178/TUN/XI/2018 tertanggal 2 November 2018;
      Manajemen PT. Freeport Indonesia wajib menghargai perjuangan Mogok Kerja 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia sesuai perintah Pasal 137 ayat (1) junto Pasal 145, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

    Jayapura, 1 Mei 2022
    Hormat Kami
    LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA
    Emanuel Gobay, S.H.,MH
    (Direktur)
    Nara hubung: 082199507613

    (Steven)

    Posting Komentar

    Lebih baru Lebih lama

    Formulir Kontak